Selasa, 15 Februari 2011

MAC


Monitored Anesthesia Care
Pendahuluan
            Peran seorang ahli anestesi di bidang kedokteran dewasa  ini semakin berkembang, tugas yang sebelumnya hanya dititik beratkan pada penatalaksanaan perioperatif di ruang operasi, dewasa ini mulai meluas ke luar ruang operasi. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya konsulan-konsulan dari bagian-bagian lain seperti misalnya ahli kardiologi, ahli radiologi dan ahli-ahli lainnya. Tindakan-tindakan seperti kateterisasi, endoskopi , CT scan pada anak-anak dan tindakan-tindakan lainnya yang memerlukan immobilisasi pasien, sangatlah terbantu kelancarannya jika pasien dimanage dengan tehnik Monitored Anesthesia Care (MAC). Selain itu MAC juga memberikan hasil yang memuaskan untuk memfasilitasi tindakan-tindakan minimal invasif seperti misalnya kuretase sampai dengan opesari katarak.
            Tindakan MAC memerlukan obat-obatan sedatif dan hipnotik yang poten, obat-obatan ini dapat menyebabkan perubahan yang cepat dari sedasi ringan menjadi sedasi dalam dan selanjutnya menyebabkan full respirasi arrest. Oleh karena itu harus dilakukan oleh paramedis yang terlatih untuk melakukan anestesi general dan yang paling bertanggung jawab untuk itu adalah seorang ahli anestesiologi. Hal ini sesuai dengan statement mengenai penggunaan propofol oleh american society of anesthesiologist. Statement tersebut dikeluarkan pada bulan April, 2004 yang isinya: “Because sedation is a continuum, it is not always possible to predict how an individual patient will respond. Due to the potential for rapid, profound changes in sedative/anesthetic and the lack of antagonistic medications(antidote), agents such as propofol require special attention”.
Definisi
Menurut ASA, MAC adalah suatu prosedur terencana yang dilakukan pada pasien yang mendapatkan lokal anestesia bersama-sama dengan sedasi dan analgesia. Sesungguhnya MAC adalah pilihan pertama pada 10-30%  dari semua prosedur operasi. Tiga element fundemental dan tujuan dari conscius sedation selama MAC adalah : sedasi yang aman, mengkontrol nyeri dan kecemasan pasien, dan yang terakhir adalah recovery yang cepat, sehingga pasien dapat dipulangkan dengan cepat setelah prosedur.
Penatalaksanaan preoperatif
            Hal-hal yang diperhatikan pada saat melakukan peroperatif visite pada pada pasien yang akan dilakukan MAC sama dengan pasien-pasien yang akan dilakukan general anestesia. Hal ini karena obat-obat yang akan digunakan sebagian besar sama dengan obat-obat untuk general anestesia dan setiap saat pasien-pasien tersebut harus siap jika diperlukan general anestesi. Sebagai tambahan yang perlu diperhatikan juga adalah kemampuan pasien untuk motionless dan kooperatif terutma untuk pasien-pasien dengan penyakit kardiorespirasi. Kemampuan untuk berkomunikasi secara aktive dengan pasien selama MAC sangat diperlukan karena :
1.      Untuk memonitoring level dari sedasi dan fungsi cardiorespiratory
2.      Untuk menenangkan pasien selama procedur berlangsung
3.      Untuk meminta pasien berpartisipasi sesuai dengan prosedur yang sedang berlangsung, tujuannya untuk melancarkan prosedur yang sedang berlangsung.
Tehnik Sedasi untuk MAC
            Kombinasi dari obat-obatan yang digunakan seharusnya memberikan analgesia, anmesia dan hipnosis dengan efek samping yang minimal. Efek samping yang harus diperhatikan diantaranya PONV, sedasi yang berkepanjangan, pengaruh yang besar pada kardiorespirasi, dan dysphoria. Recovery seharusnya komplit dan cepat. Pasien seharusnya awake atau dapat dibangunkan dengan cepat selama tindakan berlangsung, dan mampu untuk bekomunikasi. Selain nyeri hal-hal lain yang dapat menyebabkan pasien menjadi agitasi diantaranya adalah cemas, hipoksia, hiperkarbia, impending local anesthetic toxicity, cerebral hypoperfusion, bladder distention, hipotermia, hipertemia, pruritus, nausea, ketidaknyamanan  posisi, penggunaan torniquet yang berkepanjangan, dan adanya intrument atau asisten operator yang menyandar pada pasien.
            Salah satu syarat untuk melakukan MAC yang baik adalah recovery yang komplit dan cepat setelah prosedur selesai. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang baik mengenai distribusi, eliminasi, acumulasi dan durasi  dari obat-obatan yang digunakan. Selain itu seorang ahli anestesi yang melakukan MAC harus paham mengenai dasar pengetahuan yang diperlukan untuk memperkirakan kapan obat harus dimulai dan diberhentikan, terutama obat-obatan yang diberikan secara infusion. Context-sensitive half time adalah waktu yang diperlukan untuk menurunkan 50% konsentrasi obat diplasma setelah menghentikan pemberian obat tersebut secara IV infusion yang diberikan selama waktu tertentu. Sebagai contoh jika dibandingkan antara fentanil dan sufentanil maka waktu elimasi fentanyl lebih cepat dari pada sufentanil jika diberikan sebagai single dose, namun jika diberikan secara continous infusion selama 2 jam maka context sensitive half time dari fentanlyl dua kali dari sufentanyl dan 8-10 kali lebih lama jika diberikan dalam 5 jam. Jadi jika menggunakan obat secara continous infusion maka seorang ahli anestesi harus mengetahui dengan baik context sensitive half time dari obat-obatan tersebut dengan baik. Sedangkan jika diputuskan untuk menggunakan tehnik dengan cara pemberian obat secara bolus yang berulang maka seorang ahli anestesi sebaiknya mengerti mengenai effect-side equilibration. Effect-side equilibration menggambarkan waktu yang diperlukan dari pemberian obat IV secara rapid sampai efek klinisnya tercapai. Half-time dari equilibration antara konsentrasi obat di darah dan efek dari obat pada otak disebut dengan t½keo. Sebagai contoh tiopental, propofol dan alfentanil memiliki t½keo yang lebih pendek dibanding midazolam, sufentanil dan fentanyl. Oleh karena itu dosis spacing dari midazolam, sufentanyl dan fentanyl lebih panjang dari propfol atau tiopental.
Obat-obatan yang sering digunakan untuk concious sedation
            Beberapa obat-obatan yang sering digunakan untuk MAC diantaranya adalah propofol, benzodiazepine dan opioid. Propofol memiliki banyak propertis yang ideal untuk digunakan sebagai hipnotik sedative pada MAC. Context sensitive half-time dari propofol tetap pendek walaupun setelah pemberian iv infusion yang lama, selain itu propofol juga memilkiki effect-site equilibration yang pendek membuat propofol menjadi obat yang mudah dititrasi dan mempunyai efek recovery yang sangat baik. Selain itu propofol juga memberikan angka kejadian PONV yang sangat rendah. Dosis yang digunkaan biasanya 25-75 microgram/kgbb/min iv.
            Benzodiazepine digunakan pada MAC karena efek anxiolitik, amnestik dan hipnotiknya. Diantara obat-obatan benzodiazepine, midazolam yang paling digemari. Dosis yang digunakan biasanya 1-2 mg sebelum pemberian propofol atau remifentanyl.
            Komponen analgesik dari MAC tentunya didapatkan dari opioid. Remifentanyl adalah jenis opioid yang paling digemari untuk MAC karena memiliki rapid onset (brain-equilibration time 1.0-1.5 minit). Dosis yang diberikan biasanya 0,5 microgram/kgbb/min infusion 5 menit sebelum stimulus. Namun demikian remifentanlyl biasanya cukup sulit didapatkan, oleh karena itu di indonesia yang paling sering digunakan adalah fentanyl, dosis yang digunakan biasanya 0,5 sampai 2.0 micro/kgbb bolus 2-4 menit sebelum stimulus.
            Selain obat-obatan diatas, ketamine dan dexmedetomidine dewasa ini semakin sering digunakan untuk MAC. Ketamine sering digunakan untuk sedasi pada anak-anak biasanya dengan dosis 0,25-1 mg/kb iv memberikan efek depresi respiratory dan cardiovaskular yang minimal. Dexmedetomidine adalah central acting alfa 2 agonist yang dapat dititrasi untuk mencapai efek sedasi yang diinginkan tanpa depresi nafas yang significant. Dexmedetomidine juga memiliki analgesic-sparing effect, yang secara significant mengurangi kebutuhan opioid. Hal-hal inilah yang menjadi alasan kenapa obat ini semakin marak penggunaannya untuk MAC, namun demikian harga dari obat ini cukup mahal.
Monitoring Selama MAC
            Selama dilakukan MAC, monitoring harus tetap dilakukan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pasien serta kelancaran prosedur yang sedang dilakukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya:
1.      Komunikasi dan observasi : respon pasien terhadap stimulasi verbal seharusnya dipertahankan dengan jalan mengevaluasi pengtitrasian obat sedative. Pasien juga harus diperhatikan akan munculnya gejala-gejala seperti diaphoresis, pallor, shivering, cyanonis, dan perubahan akut dari neurologic status.
2.      Auscultasi : dapat digunakan precordial stetoscope untuk memonitoring suara jantung, baik itu intensitas dan heart ratenya.
3.      Pulse oximetry : kemungkinan adanya hipoksia karena efek sedatif terutama pada pasien-pasien dengan preexisting upper airway obstruction dan  penyakit saluran nafas.
4.      Capnograf
5.      Sistem Cardiovaskular : Penggunan EKG continous sangat disarankan, pengukuran tekanan darah dilakukan minimal setiap 5 menit.
6.      Temperature
7.      Kemungkinan terjadinya toksikasi dari lokal anestesi : adapun gejala-gejala yang dapat diperhatikan sesuai dengan level dari toksikasi
a.       Ringan : ngantuk, baal pada lidah, rasa metalik
b.      Menengah : gelisah, vertigo, tinnitus, kesulitan berkonsetrasi
c.       Berat : bicara ngacau, kejang, cardiovaskular arrest


Penutup
Ahli anestesi dewasa ini mulai dituntut untuk melakukan tindakan anestesi diluar ruang operasi, seperti misalnya consius sedation yang sering disebut dengan MAC. Untuk melakukan MAC yang baik seorang ahli anestesi harus memahami dengan baik propertis dari obat-obatan yang digunakan. Obat-obat yang paling sering digunakan untuk MAC adalah propofol, opioid, dan benzodiazepine, akhir-akhir ini penggunaan ketamine dan dexmedetomidine juga mulai digemari. Selama dilakukan MAC, pasien harus tetap dimonitoring oleh paramedis yang berkompeten dibidang anestesi.















Daftar Pustaka
1.      ASA Task Force on Sedation and Analgesia by Non-Anesthesiologists. Practice guidelines for sedation and analgesia by non-anesthesiologists. Anesthesiology 2002;96:1004–17
2.      Herr DL, Sum-Ping STJ, England M. ICU sedation after coronary artery bypass graft surgery: dexmedetomidine-based versus propofol-based sedation regimens. J Cardiothorac Vasc Anesth 2003;17:576–84
3.      Bhananker SM, Posner KL, Cheney FW, Caplan RA, Lee LA, Domino KB. Injury and liability associated with monitored anesthesia care: a closed claims analysis. Anesthesiology 2006;104:228–34
4.      Hall JE, Uhrich TD, Barney JA, Arain SA, Ebert TJ. Sedative, amnestic, and analgesic properties of small-dose dexmedetomidine infusions. Anesth Analg 2000;90:699–705
5.      Ebert TJ, Hall JE, Barney JA, Uhrich TD, Colinco MD. The effects of increasing plasma concentrations of dexmedetomidine in humans. Anesthesiology 2000;93:382–94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar